KISAH PARA PEREMPUAN DESA – TRUE STORY
Barisan pohon singkong berdiri dengan begitu indah dan rapi dengan daunnya yang hijau dan bergoyang ke sana kemari mengikuti arah hembusan angin yang datang kemudian berlalu, beberapa pohon pisang juga mulai menunjukkan kalau bahunya kini telah bisa di panen sebelum burung terlebih dahulu memanennya. Tanaman sayur sayuran juga telah memperlihatkan hasilnya dimana setiap pagi dan sore selalu ku sirami, begitu juga dengan barisan tanaman jagung telah menunjukkan waktu untuk mengeluarkan buahnya.
Ladangku berada tepat dibelakang rumahku, jadi jika aku keluar dari pintu rumah belakang aku langsung berada di ladang ku, tidak banyak waktu yang dibutuhkan untuk pergi ke sana, sehingga bisa dikatakan halaman rumahku adalah ladangku, karena rumah berada hampir tepat di tengah ladang itu sendiri. Ladangku tidaklah luas hanya sekitar setengah hektar saja, jadi aku dapat menyisirnya setiap hari saat aku berada di sana. posisi rumah dan ladangku di berada ditengah antara dua jalan, bagian depan rumahku menghadap ke jalan yang satu di mana tersebut mengarah ke beberapa desa yang ada di ujungnya, sedangkan belakang rumahku adalah area ladangku yang ujungnya berbatasan dengan jalan yang lain di pinggir jalan tersebut juga terdapat banyak rumah penduduk.
Di salah satu ujung batasan ladangku berbatasan langsung dengan sebuah rumah penduduk desa bagian belakang rumahnya. Rumah tersebut adalah milik Pak Aldi, beliau tidak seorang pekerja kantoran dan tidak memiliki kadang hanya rumah saja yang ada di sana, dulu beliau membeli sepetak tanah untuk membangun rumahnya kini, beliau sendiri memiliki dua orang putra yaitu masih balita, putra beliau pertama berusia enam tahun sedang putra beliau yang kedua masih berusia empat tahun. Istri beliau bernama Mba Lia seorang ibu rumah tangga berkulit putih dengan tinggi badan menurut taksiran ku seratus enam puluh centimeter dan berusia sekitar tiga puluh delapan tahun serta dengan ukuran dadanya menurut pengamatanku sekitar empat puluh D.
Aku sering melihat beliau ketika menjemur pakaian di belakang rumahnya, karena tempat jemur pakaian hanya ada di bagian belakang rumahnya saja, dimana bagaimana rumahnya tersebut langsung berbatasan dengan ladangku, jadi pada saat aku berada pada ladangku bagian tersebut aku dapat melihat istrinya Pak Aldi menjemur pakaiannya. Bahkan hampir setiap aku berada di sana selalu aku melihat pakaian di kawat jemuran mereka, aku sendiri sering bertanya apakah Mba Lia setiap hari mencuci pakaian sepertinya tidak pernah absen dalam mencuci, mungkin karena beliau memiliki dua orang anak yang masih kecil jadi pakaian tentu setiap hari selalu ada yang kotor, atau mungkin Mba Lia tidak suka ada pakaian yang kotor menumpuk jadi pada saat beliau memiliki waktu senggang langsung mencucinya atau saat beliau mandi terlebih dahulu beliau mencuci terlebih dahulu.
Aku sendiri sering melihat beliau menjemur pakaian dengan memakai pakaian daster pendek saja bahan aku pernah beberapa kali mendapati beliau Mba Lia menjemur pakaian memakai baju koas oblong ketat dan bawahnya hanya menggunakan lilitan handuk saja, mungkin beliau berfikir dibelakang rumahnya tidak ada orang yang lewat atau berlalu lalang jadi beliau tidak perlu khawatir, meskipun saat tertentu beliau juga dapat merasakan kehadiran ku di ladang bahkan sering melihatku sedang melakukan aktivitas disana tetapi beliau seperti tidak peduli dan tetap dengan kegiatannya menjemur atau mengambil pakaiannya yang telah kering.
Mungkin saja beliau menganggap aku masih remaja dua puluh tahun jadi belum memiliki perasaan tertarik pada wanita, apalagi dirinya seorang emak-emak, mungkin itu yang ada dalam pikiran Mba Lia. Aku sering mengamati penampilan Mba Lia saat berada dibelakang rumahnya, lengannya, betisnya bahkan lehernya yang putih mulus dan bersih, aku juga sering membayangkan tentang dirinya terutama tubuhnya, ketika aku melihatnya berjemur pakaian dengan memakai lilitan handuk dibawahnya aku langsung berfikir kalau Mba Lia pasti selesai mandi atau akan mandi, pasti nikmat sekali jika bisa mengintipnya sedang mandi, pasti beliau mandinya telanjang, begitulah pikiranku saat bertemu atau melihat dirinya setiap saat.
Beliau sendiri wanita yang sangat cuek dan tidak pernah peduli atau ambil tahu tentang banyak hal yang terjadi di daerah tempat kami tinggal, aku sendiri selama beliau tinggal di sana hanya beberapa kali saja berbicara dengan Mba Lia, itupun sering kami lakukan saat beliau meminta saya untuk memadamkan api yang saya hidupkan untuk membakar sampah di ladang saja, agar asapnya tidak terbang dan mengenali pakaian beliau yang sedang dijemur.
Aku hanya meminta maaf saja kepada beliau dan Mba Lia kemudian langsung berlalu masuk kedalam rumahnya. Sedangkan dengan suaminya Pak Aldi aku sering berbicara panjang lebar dengan dirinya, karena beliau memiliki rasa ingin tahu yang banyak tentang bertani, mungkin beliau karena tidak memiliki ladang jadi timbul rasa penasaran bagaimana keadaan atau rasanya bekerja sebagai petani. Ayahku sendiri adalah seorang pegawai negeri sipil sedangkan Ibuku sama seperti Mba Lia seorang ibu ramah tangga, jadi aku memutuskan untuk mengelola ladang dari kedua orang tuaku agar tidak terbengkalai. Tentu pada mulanya aku sedikit menolak atas ide yang diberikan oleh ibuku, meskipun pada akhirnya aku menyetujuinya tetap saja dengan perasaan yang beratnya, tetapi beberapa bulan setelah bekerja di sana dan dari tanaman sudah dapat dilihat aku menjadi semakin bersemangat untuk bekerja di sana, ditambah lagi aku juga dapat melihat keindahan tubuh Mba Lia saat beliau menjemur pakaian meskipun tubuhnya masih tertutup pakaian, itu saja sudah cukup bagiku.
Kadang saat kaki berada di lokasi yang sama meskipun jaraknya jauh, aku yang sibuk dengan pekerjaanku dan mataku melihat beliau yang juga sibuk dengan jemurannya, aku ingin mengajaknya berbicara panjang lebar atau kami bisa saling akrab dengan tetangga yang rumahnya dan ladangku berbatasan langsung, tetapi aku tidak memiliki keberanian dan juga tidak menemukan ide atau cara yang pas, karena beliau orang sangat cuek jadi sangat sulit mengajaknya mengobrol.
Kadang aku berpikir untuk mengurungkan niat ku agar dapat akrab dengan dirinya, meskipun aku begitu mudah akrab dengan ibu-ibu yang lain di desa tempatku tinggal sekarang. Sering juga aku berfikir apakah karena Mba Lia wanita kota sebelumnya dan setelah menikah dengan suaminya kemudian tinggal di desa sehingga beliau enggan berbicara dengan orang desa, tetapi pikiran itu dengan cepat terbantahkan karena aku juga sering melihat beliau berbicara dengan ibu-ibu yang ada di desa atau dengan para gadis yang ada di desa kami, bahkan beliau sangat ramah kepada mereka. Begitu juga dengan beberapa wanita dari kota yang menikah dan menetap di sini mereka juga sangat ramah dan mudah akrab, atau mungkin Mba Lia memang tidak suka saja berbicara dengan diriku, padahal aku ini anak dari tetangga terdekatnya. Mungkin butuh waktu dan kesabaran, pikiranku.
Ibarat kita memancing ikan tentu umpan yang kita berikan harus sesuai dengan jenis ikan yang ingin kita pancing, mungkin aku belum tahu saja jenis umpan apa yang cocok untuk membuat Mba Lia supaya dekat dan akrab dengan diriku. Meskipun sulit aku akan selalu berusaha mendapatkan dan mencari titik lemahnya sehingga kami bisa menjadi teman yang baik, untuk sementara biarkan semuanya berjalan atau mengalir seperti apa adanya, tidak ada yang perlu dirubah kecuali memang perubahan itu harus dilakukan.
Toh aku sendiri hanya ingin berteman dan akrab dengan beliau saja, tidak ada keinginan atau niat yang lebih atau yang lain, untuk bisa berteman dan akrab dengan beliau saja bagiku untuk sementara ini sudah cukup, sebab jika bisa mengobrol dengan beliau setidaknya aku sudah memiliki teman saat berada di ladang jadi tidak kesepian lagi, ada orang yang bisa diajak berbicara atau bercanda meskipun hanya sebentar… Cersex Dewasa
Bersambung…….